Jembatan Ampera, yang sekarang sudah menjadi lambang kota Palembang – memiliki sejarah yang panjang sebelum kita melihat kondisinya saat ini. Lika-liku yang mengukir sejarah dibangunnya Jembatan ini cukup panjang, bahkan bila kita flashback ke tahun 1906 – Palembang yang kala itu masih di bawah pendudukan pemerintah kolonial Belanda – niat untuk membangun jembatan yang menyatukan kota yang terbelah menjadi dua oleh sungainya ini, sudah tercetus, namun entah mengapa niat ini akhirnya tak ada tindak lanjut.
Jembatan Ampera yang panjangnya 1.777 meter, lebar 22 m, dengan dua menara setinggi 63 m, jarak antar menara 75 m, tinggi 11,5 m dari permukaan air, dan beratnya 944 ton, dengan 2 bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton, menurut sejarahnya dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Provinsi Sumatera Selatan H. Achmad Bastari. Dimulai pengerjaannya pada april 1962, dan resmi selesai pada bulan Mei 1965, atas biaya dan tenaga ahli dari pemerintah Jepang.
Proyek Jembatan Ampera ini menghabiskan dana sebesar USD 4.500.000 (Saat itu, USD 1 = Rp 200). Andil Bung Karno pun, tak bisa disepelekan dalam upaya pembangunan jembatan yang saat ini sudah menjadi land mark kota pempek ini. Oleh karena itulah nama jembatan Ampera dulunya (sebelum ada gerakan anti-Soekarno) adalah Jembatan Bung Karno.
Jalan antara ke dua menara Jembatan Ampera ini, pada awalnya bisa diangkat/dinaikkan, sehingga kapal-kapal yang berukuran besar (lebar maksimum 60 meter dan dengan tinggi 44,50 meter) bisa melintasinya. Ini salah satu keistimewaan jembatan ini yang tak dimiliki oleh jembatan-jembatan lain yang ada di Indonesia.
Namun sayangnya sejak tahun 1970 keistimewaan ini tak difungsikan lagi, mengingat waktu yang digunakan untuk menaik dan menurunkan jembatan ini, yaitu sekitar 30 menit, dianggap akan mengganggu arus lalu lintas, disamping memang tak banyak lagi kapal-kapal besar yang melewati jembatan ini.
Pada tahun 1990, dua bandul pemberatnya pun turut dibongkar, karena fungsinya memang sudah tak ada lagi, hanya akan menambah-nambah beban yang ditanggung oleh Jembatan yang menjadi kebanggaan wong Plembang ini, juga untuk menghindari segala kemungkinan yang tak diinginkan.
Jembatan Ampera ini, pada tahun 1981, direnovasi, dengan menghabiskan dana sebesar Rp. 850 juta. Ini dilakukan agar Jembatan ini penampilannya menjadi lebih indah, dan tentu saja alasan lainnya adalah untuk menghindari kemungkinan roboh, sebagai dampak langsung dari semakin ramainya kendaraan yang berlalu-lalang.
Saat ini jembatan Ampera sudah menjadi dekorasi gemerlap dari ‘Bumi Sriwijaya’. Di malam hari, jembatan ini nampak seperti miniatur jembatan The Golden Gate, dengan keunikan dan kekhasan tersendirinya.
Lampu bewarna-warni di sepanjang jembatan ini, menambah megah, anggun sekaligus romantisnya suasana malam di kota para raja dan sultan ini.
Back To Tempat Wisata Lainya:
Jembatan Ampera yang panjangnya 1.777 meter, lebar 22 m, dengan dua menara setinggi 63 m, jarak antar menara 75 m, tinggi 11,5 m dari permukaan air, dan beratnya 944 ton, dengan 2 bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton, menurut sejarahnya dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Provinsi Sumatera Selatan H. Achmad Bastari. Dimulai pengerjaannya pada april 1962, dan resmi selesai pada bulan Mei 1965, atas biaya dan tenaga ahli dari pemerintah Jepang.
Proyek Jembatan Ampera ini menghabiskan dana sebesar USD 4.500.000 (Saat itu, USD 1 = Rp 200). Andil Bung Karno pun, tak bisa disepelekan dalam upaya pembangunan jembatan yang saat ini sudah menjadi land mark kota pempek ini. Oleh karena itulah nama jembatan Ampera dulunya (sebelum ada gerakan anti-Soekarno) adalah Jembatan Bung Karno.
Jalan antara ke dua menara Jembatan Ampera ini, pada awalnya bisa diangkat/dinaikkan, sehingga kapal-kapal yang berukuran besar (lebar maksimum 60 meter dan dengan tinggi 44,50 meter) bisa melintasinya. Ini salah satu keistimewaan jembatan ini yang tak dimiliki oleh jembatan-jembatan lain yang ada di Indonesia.
Namun sayangnya sejak tahun 1970 keistimewaan ini tak difungsikan lagi, mengingat waktu yang digunakan untuk menaik dan menurunkan jembatan ini, yaitu sekitar 30 menit, dianggap akan mengganggu arus lalu lintas, disamping memang tak banyak lagi kapal-kapal besar yang melewati jembatan ini.
Pada tahun 1990, dua bandul pemberatnya pun turut dibongkar, karena fungsinya memang sudah tak ada lagi, hanya akan menambah-nambah beban yang ditanggung oleh Jembatan yang menjadi kebanggaan wong Plembang ini, juga untuk menghindari segala kemungkinan yang tak diinginkan.
Jembatan Ampera ini, pada tahun 1981, direnovasi, dengan menghabiskan dana sebesar Rp. 850 juta. Ini dilakukan agar Jembatan ini penampilannya menjadi lebih indah, dan tentu saja alasan lainnya adalah untuk menghindari kemungkinan roboh, sebagai dampak langsung dari semakin ramainya kendaraan yang berlalu-lalang.
Saat ini jembatan Ampera sudah menjadi dekorasi gemerlap dari ‘Bumi Sriwijaya’. Di malam hari, jembatan ini nampak seperti miniatur jembatan The Golden Gate, dengan keunikan dan kekhasan tersendirinya.
Lampu bewarna-warni di sepanjang jembatan ini, menambah megah, anggun sekaligus romantisnya suasana malam di kota para raja dan sultan ini.
Back To Tempat Wisata Lainya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar