Bertahan, walau Untung Rp100 Ribu
Jika Anda singgah ke pelataran bawah Jembatan Ampera hingga Pasar 16 Ilir sekitar pukul 17.00-24.00 WIB, ada pemandangan berbeda. Di sana sudah disulap menjadi pasar kuliner. Ada 30 gerobak dan tenda yang siap “menggoyang lidah” para pengunjung. Mbah Dwi, panggilan Dwi Astuti, sudah berusia sekitar 61 tahun. Meski begitu, tangannya masih cekatan ngulek kacang, gula merah, dan meracik sayur-mayur menjadi makanan khas gado-gado yang lezat. Sorot matanya menyipit, karena berkerut. Sesekali, ia menguap menutup mulutnya. Hanya, kantuk yang seolah tak tertahankan itu sirna manakala pembeli datang. "Gado-gado, tahu, Mas?" tawar si Mbah kepada wartawan koran ini yang membincanginya sekitar pukul 23.45 WIB, Minggu. Dwi adalah salah satu dari 30 pedagang yang terpilih oleh Tim Perencanaan Penataan dan Pembinaan Kelompok Usaha Pasar Wisata Kuliner Kota Palembang. Ia memiliki seabreg pengalaman yang cukup lama dalam berdagang. "Sudah 10 tahun jual makanan, Mas. Saya buka warung makanan khas Jawa Timur-an di rumah, Jl Dr Cipto No 5 dan Kambang Iwak," katanya lagi.
Makanan yang dijual seperti rujak cingur, rawon, tahu campur lamongan, ayam panggang, bubur, rujak, dan aneka tahu. "Tetapi, karena pemerintah mewajibkan kami jual satu jenis makanan di pasar kuliner, maka saya cuma jual aneka olahan tahu," ujarnya.
Ia menjual tahu tek, tahu telor, dan gado-gado seharga Rp7.500. Sedangkan, tahu berontak dan tahu petis Rp1.000. “Modal awal Rp200 ribu, Mas,” tuturnya.
Ternyata, malam pertama jualan di pasar kuliner dia bisa mengantongi untung Rp100 ribu. "Tetapi itu Sabtu malam, kalau hari ini (malam Senin, red) sepi. Lihat-lihat dulu satu bulan ke depan, barangkali akan ramai. Karena, pasar kuliner ini kan baru, jadi orang mengenal dulu," ujarnya.
Dibandingkan dengan ketika berjualan di Cipto dan Kambang Iwak, lanjutnya, untung berdagang di pasar kuliner ternyata sangat kecil. "Kalau di Cipto, modal Rp250 ribu bisa untung Rp400 ribu-Rp500 ribu perhari. Tetapi, di KI terutama Sabtu Minggu bisa Rp1 juta per hari, kalau hari biasa Rp500 ribu-Rp600 ribu. Cuma memang, sewa tenant-nya yang besar Rp40 juta per kios," bebernya lagi.
Walau begitu, Dwi yang juga dibantu oleh dua orang anaknya mengaku tetap bertahan di arena pasar kuliner, walau untung ternyata tak sebesar di dua tempat sebelumnya. "Itung-itung meramaikan khazanah kuliner. Lagipula kepengen di sini udah lama. Daftar sejak April, tapi baru terealisasi sekarang. Kami juga dapat fasilitas gratis gerobak dan tenda. Mudah-mudahan ke depan tambah maju, apalagi Disperindag menjanjikan akan ada semacam life music di sini nanti," imbuhnya.
Cuma, Dwi minta batas pagar tidak ditutup terlalu jauh. Ini biar masyarakat bisa lebih dekat melihat begitu juga dengan lokasi parkirnya. Selain Dwi, ternyata masih banyak pedagang lain yang ngetem. Mereka jual makanan dan minuman seperti jus, bandeng presto, bakso, martabak India, ayam bakar, pindang, es putar, soup buah, aneka seafood, nasi goreng, dan lainnya.
Insan (23), pedagang aneka jus juga memiliki minuman andalan untuk khalayak ramai. "Namanya grand qinyon atau jus yang berasal dari sayur-sayuran seperti sawi, nanas, jeruk nipis dan jeruk peras (jeruk medan). Baik untuk kesehatan karena bisa menurunkan darah tinggi," tuturnya.
Darimana resepnya? “Belajar dari kawan,” ujar Insan lagi. Di samping itu, ia juga mengandalkan minuman Contesa Cream dari alpukat dan susu bubuk. "Rasa seperti es krim. Dua item itu saya banderol Rp8.000," ujarnya. Sementara, untuk jus seperti avokad, mangga, apel, tomat dijual Rp6 ribu per porsi.
Sebelum mencoba peruntungan di pasar kuliner yang mulai buka Sabtu lalu, 26 September, Insan berjualan rokok Arab (seisha) di Sony Futsal. Sama seperti mbah Dwi, ketertarikan Insan, karena melihat prospek yang cukup bagus. “Untuk buah-buahan tampaknya mendukung,” tukasnya.
Selain itu, dari segi fasilitas dan tempat sangat memadai. "Sebenarnya saya mau jual jus dan seisha, tapi yang diberi izin hanya jus," kata pemuda yang juga aktif di EO ini.
Pantauan Sumatera Ekspres, di hari kedua pembukaan pasar kuliner, Minggu, (27/9), pengunjung masih tampak sepi. Begitu juga pedagang tidak full 30 orang. "Kita sudah sediakan 30 gerobak plus tenda, tetapi nampaknya masih ada beberapa pedagang yang belum buka," ujar Ade Jaya Martin, sekretaris Tim Perencanaan Penataan dan Pembinaan Kelompok Usaha Pasar Wisata Kuliner Kota Palembang.
Menurut Ade, hari pertama yang hadir hanya 19 pedagang sementara 11 tidak jualan. Di hari kedua sama. "Setelah kita konfirmasi ternyata alasan mereka belum siap. Ada juga yang belum memberi kabar atau meminta malam besok," ujarnya. Tetap akan dipanggil dengan batas toleransi 3 hari, jika masih tidak jualan akan diganti dengan orang lain dengan mekanisme penerimaan awal.
"Banyak yang ngantre. Tahap awal saja 67 peserta mau ikut, di tahap 2 ada 14 orang," ujarnya. Sementara itu, wilayah Jembatan Ampera sendiri hingga ke pasar 16 Ilir benar-benar telah steril. Saat ini, dipasang sejumlah pembatas mengelilingi lokasi tersebut sehingga baik pedagang atau pengunjung menjadi lebih nyaman.(Sumeks)
Jika Anda singgah ke pelataran bawah Jembatan Ampera hingga Pasar 16 Ilir sekitar pukul 17.00-24.00 WIB, ada pemandangan berbeda. Di sana sudah disulap menjadi pasar kuliner. Ada 30 gerobak dan tenda yang siap “menggoyang lidah” para pengunjung. Mbah Dwi, panggilan Dwi Astuti, sudah berusia sekitar 61 tahun. Meski begitu, tangannya masih cekatan ngulek kacang, gula merah, dan meracik sayur-mayur menjadi makanan khas gado-gado yang lezat. Sorot matanya menyipit, karena berkerut. Sesekali, ia menguap menutup mulutnya. Hanya, kantuk yang seolah tak tertahankan itu sirna manakala pembeli datang. "Gado-gado, tahu, Mas?" tawar si Mbah kepada wartawan koran ini yang membincanginya sekitar pukul 23.45 WIB, Minggu. Dwi adalah salah satu dari 30 pedagang yang terpilih oleh Tim Perencanaan Penataan dan Pembinaan Kelompok Usaha Pasar Wisata Kuliner Kota Palembang. Ia memiliki seabreg pengalaman yang cukup lama dalam berdagang. "Sudah 10 tahun jual makanan, Mas. Saya buka warung makanan khas Jawa Timur-an di rumah, Jl Dr Cipto No 5 dan Kambang Iwak," katanya lagi.
Makanan yang dijual seperti rujak cingur, rawon, tahu campur lamongan, ayam panggang, bubur, rujak, dan aneka tahu. "Tetapi, karena pemerintah mewajibkan kami jual satu jenis makanan di pasar kuliner, maka saya cuma jual aneka olahan tahu," ujarnya.
Ia menjual tahu tek, tahu telor, dan gado-gado seharga Rp7.500. Sedangkan, tahu berontak dan tahu petis Rp1.000. “Modal awal Rp200 ribu, Mas,” tuturnya.
Ternyata, malam pertama jualan di pasar kuliner dia bisa mengantongi untung Rp100 ribu. "Tetapi itu Sabtu malam, kalau hari ini (malam Senin, red) sepi. Lihat-lihat dulu satu bulan ke depan, barangkali akan ramai. Karena, pasar kuliner ini kan baru, jadi orang mengenal dulu," ujarnya.
Dibandingkan dengan ketika berjualan di Cipto dan Kambang Iwak, lanjutnya, untung berdagang di pasar kuliner ternyata sangat kecil. "Kalau di Cipto, modal Rp250 ribu bisa untung Rp400 ribu-Rp500 ribu perhari. Tetapi, di KI terutama Sabtu Minggu bisa Rp1 juta per hari, kalau hari biasa Rp500 ribu-Rp600 ribu. Cuma memang, sewa tenant-nya yang besar Rp40 juta per kios," bebernya lagi.
Walau begitu, Dwi yang juga dibantu oleh dua orang anaknya mengaku tetap bertahan di arena pasar kuliner, walau untung ternyata tak sebesar di dua tempat sebelumnya. "Itung-itung meramaikan khazanah kuliner. Lagipula kepengen di sini udah lama. Daftar sejak April, tapi baru terealisasi sekarang. Kami juga dapat fasilitas gratis gerobak dan tenda. Mudah-mudahan ke depan tambah maju, apalagi Disperindag menjanjikan akan ada semacam life music di sini nanti," imbuhnya.
Cuma, Dwi minta batas pagar tidak ditutup terlalu jauh. Ini biar masyarakat bisa lebih dekat melihat begitu juga dengan lokasi parkirnya. Selain Dwi, ternyata masih banyak pedagang lain yang ngetem. Mereka jual makanan dan minuman seperti jus, bandeng presto, bakso, martabak India, ayam bakar, pindang, es putar, soup buah, aneka seafood, nasi goreng, dan lainnya.
Insan (23), pedagang aneka jus juga memiliki minuman andalan untuk khalayak ramai. "Namanya grand qinyon atau jus yang berasal dari sayur-sayuran seperti sawi, nanas, jeruk nipis dan jeruk peras (jeruk medan). Baik untuk kesehatan karena bisa menurunkan darah tinggi," tuturnya.
Darimana resepnya? “Belajar dari kawan,” ujar Insan lagi. Di samping itu, ia juga mengandalkan minuman Contesa Cream dari alpukat dan susu bubuk. "Rasa seperti es krim. Dua item itu saya banderol Rp8.000," ujarnya. Sementara, untuk jus seperti avokad, mangga, apel, tomat dijual Rp6 ribu per porsi.
Sebelum mencoba peruntungan di pasar kuliner yang mulai buka Sabtu lalu, 26 September, Insan berjualan rokok Arab (seisha) di Sony Futsal. Sama seperti mbah Dwi, ketertarikan Insan, karena melihat prospek yang cukup bagus. “Untuk buah-buahan tampaknya mendukung,” tukasnya.
Selain itu, dari segi fasilitas dan tempat sangat memadai. "Sebenarnya saya mau jual jus dan seisha, tapi yang diberi izin hanya jus," kata pemuda yang juga aktif di EO ini.
Pantauan Sumatera Ekspres, di hari kedua pembukaan pasar kuliner, Minggu, (27/9), pengunjung masih tampak sepi. Begitu juga pedagang tidak full 30 orang. "Kita sudah sediakan 30 gerobak plus tenda, tetapi nampaknya masih ada beberapa pedagang yang belum buka," ujar Ade Jaya Martin, sekretaris Tim Perencanaan Penataan dan Pembinaan Kelompok Usaha Pasar Wisata Kuliner Kota Palembang.
Menurut Ade, hari pertama yang hadir hanya 19 pedagang sementara 11 tidak jualan. Di hari kedua sama. "Setelah kita konfirmasi ternyata alasan mereka belum siap. Ada juga yang belum memberi kabar atau meminta malam besok," ujarnya. Tetap akan dipanggil dengan batas toleransi 3 hari, jika masih tidak jualan akan diganti dengan orang lain dengan mekanisme penerimaan awal.
"Banyak yang ngantre. Tahap awal saja 67 peserta mau ikut, di tahap 2 ada 14 orang," ujarnya. Sementara itu, wilayah Jembatan Ampera sendiri hingga ke pasar 16 Ilir benar-benar telah steril. Saat ini, dipasang sejumlah pembatas mengelilingi lokasi tersebut sehingga baik pedagang atau pengunjung menjadi lebih nyaman.(Sumeks)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar