Kamis, 01 Oktober 2009

Batik Palembang Usia 300 Tahun

SEBUAH fenomena langka terjadi sepanjang tahun 2008 silam, ketika tiba-tiba saja batik ngetren sebagai busana harian. Anak-anak muda tak lagi gengsi berbatik-ria ke kampus, mal, pesta, termasuk buat gaul. Puncaknya 2 Oktober 2009 lalu, Presiden SBY mencanangkan Hari Batik Nasional dan mendapat direspon positif masyarakat di berbagai penjuru tanah air. Dunia internasional melalui Unesco di PBB pun mengakui batik sebagai warisan budaya asli Indonesia.

Masyarakat Palembang tentu saja patut berbangga hati. Dari ribuan jenis batik di Nusantara, Kesultanan Palembang Darussalam ikut menyumbang motif khas yang masih eksis dan diburu kolektor sampai saat ini.

Motif batik seperti jeperi, bakung, jukung, babar emas, babar kecubung, dan daun teh diproduksi pengusaha tekstil di Pekalongan dan diberi nama batik palembang. Banyak yang tidak menyadari hal ini karena lebih familiar dengan kain songket. Padahal, seni mem

batik sudah ada di Palembang sejak 300 tahun lalu.

Desainer songket/batik beken Mir Senen masih menyimpan koleksi batik sebagi peninggalan Kerajaan Palembang -pascakeruntuhan Kerajaan Sriwijaya- itu di galerinya.

Batik ini sangat elegan dan indah. Warnanya didominasi merah dan emas karena pengaruh kuat budaya Cina. Pada masanya hanya digunakan kaum borjuis atau keluarga kerajaan menghadiri pesta pernikahan.

Berbagai motif batik sebagi, di antaranya sumping, bungo dadar, bungo delimo, bebek pulang sore, bungo pacik, bungo cino, dan bungo tanjung. Koleksi Mir Senen motif bungo kenango dengan atasan kadaka yang sudah robek di beberapa bagian.

Bagian atasan merupakan kain panjang yang dililitkan melingkari dada sampai perut. Sementara bawahan berbentuk rok panjang berkuran besar. Sebagai pelengkap penampilan, perempuan pada masa itu menggunakan selendang.

Batik ini menggunakan emas 24 karat bagian bawahan dalam bentuk prada. Merupakan batik tulis yang menggunakan pewarna bahan alami (non kimia) seperti buah rotan untuk warna merah, getah nangka mencipta warna kuning, dan buah mengkudu untuk warna biru.

“Kelebihan motif batik sebagi tidak bisa ditiru, beda dengan songket,” kata Mir Senen ketika ditemui Sripo di galerinya di Palembang, Sabtu (3/10).

Mir Senen mendapatkannya 30 tahun lalu dari salah satu keluarga kaya asli Palembang. Kain ini pernah ditawar Ny Hatta Radjasa, harganya mencapai puluhan juta.

Ia juga menyimpan 16 koleksi kayu cetakan motif batik sebagi yang dibuat dari kayu. Nilai historis dan seninya disebut-sebut lebih tinggi dari sejumlah motif batik Jawa yang dicetak pakai tembaga. Meseum Bala Putra Dewa juga menyimpan koleksi kayu itu.

Menurut Mir Senen, seni membatik dibawa rakyat Jawa sewaktu Kerajaan Majapahit menaklukkan Sriwijaya dan mengalami perkembangan pesat.

“Ada ratusan motif batik pada masa itu. Pengaruh Cina begitu kuat membentuk identitas baru yang di Jawa sendiri tidak ada,” katanya.

Perkembangan motif batik di Palembang juga dipengaruhi kehidupan religus masyarakatnya. Pada masa Kerajaan Palembang namanya Batik Palembangan menggunakan beragam bentuk hewan, seperti motif Simbur Tanduk Menjangan warna biru putih.

Batik palembangan lebih modern dari sebagi telah menggunakan kerah V dan mendapat pengaruh kuat budaya Jawa. Mir Senen berkesempatan memamerkan dua lembar batik yang didominasi warna coklat motif dan biru.

Perubahan terjadi pada batik palembang di jaman Kesultanan Palembang Darussalam yang menggunakan motif bunga. Warna kuning dan emas kembali mendominasi selain orange dan coklat. Batik ini sekarang diproduksi di Pekalongan.

“Nenek moyang Palembang yang bikin, Pekalongan yang punya nama. Sayang sekali karena semestinya kita harus akui produk daerah sendiri,” kata Mir Senen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar