PALEMBANG - Rencana Pemerintah Kota Palembang akan mengoperasikan bus transmusi sebagai angkutan massal pengganti buskota, disikapi berbeda oleh kalangan pemerhati dan masyarakat yang pernah menikmati jasa transfortasi ini di Jogjakarta. Sebelum bus dioperasikan, pemerintah kota diimbau untuk menyiapkan jalan, halte dan sarana pendukung lainnya sehingga tidak menimbulkan kemacetan baru.
Prof Dr Ir Dedik Budianto yang merupakan konsultan Lingkungan dan Perencanaan kepada Sripo, Senin (12/10) sempat mempertanyakan seberapa panjang dan jauh ruas jalan di Palembang sehingga ada ide dari pemerintah untuk mengoperasikan bus transmusi.
"Jalan di Palembang segitu-gitunya," katanya.
Kalau pun mau dipaksakan beroperasi, lanjut Dedik, maka pernyataan berikutnya adalah, apakah ruas jalan yang akan dilalui bus transmusi sudah ada. Jika nantinya beroperasi bersamaan dengan sisa-sisa buskota yang belum berkahir izin trayeknya, maka dipastikan akan terjadi krodit di Simpang Charitas dan titik kemacetan lainnya.
Untuk persoalan ketiga, Dedik mengaku belum melihat adanya perencanaan pembangunan halte yang benar -benar mencerminkan sebagai shelter bus transmusi yang memiliki pintu masuk dan pintu keluar menuju ke dalam bus.
"Bukan seperti halte yang ada selama ini, dimana orang naik dan turun bus seenaknya," katanya.
Senada dengan Dedik Budianto, dr Anton Suwindro pun mengingatkan agar pemerintah mencontoh bus trans Yogja yang lebih dahulu dijalankan, tidak perlu muluk-muluk mencontoh Busway di Jakarta. Menurutnya, lalu lintas di Yogjakarta sangat padat, mulai dari kendaraan roda empat, roda dua, sepeda dan bus pariwisata tetapi tidak ada kemacetan berarti, berbeda dengan Palambang. Padahal, ruas jalannya sempit.
Menurutnya, trans Yogja hanya sebuah buskota yang memakai AC dengan diawaki satu orang sopir dan satu orang pemandu bukan kenek karena tugasnya memandu orang untuk masuk ke bus dan keluar serta menginformasikan akan tiba di halte berikutnya. Pemandu tidak menarik retribusi dan kecepatan bus maksimal 45 KM/Jam, kebersihan dijamin,lampu terang benderang, lagu bukan house music yang memekakan telinga sampai lebih 85 db dan rute trans Yogja mencapai seluruh Yogjakarta.
Satu hal lagi, ungkap Anton, halte dibuat lebih tinggi dari jalan, yang didalamnya terdapat seorang yang menjual tiket Rp 3.000 berupa kartu plastik. "Tiket dimasukan ke box agar rolling gate terbuka. Pemandu di halte bertugas mencatat jam berapa bus datang dan berangkat sehingga dapat diukur laju bus dari satu halte ke halte yang lain," kata Anton Suwindro.
Anton Suwindro juga mempertanyakan ujicoba yang dilakukan Dishub dengan transmusinya dilakukan pengukuran waktu jarak tempuh dari Pusri-Charitas dan sebagainnya. "Kalau tidak diukur, bagaimana bisa mangatur operasional transmusi. Tanpa halte dan tanpa ruas jalan khusus transmusi, tidak ubahnya seperti regenerasi buskota yang mendapat toleransi untuk berhenti di lampu hijau dan berjalan di lampu merah," kata Anton.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar